“Indonesia kekurangan tenaga pendidik berkualitas”.

Merupakan permasalahan yang sudah lama hidup di kesadaran para elit nan bijak di negeri yang terletak di sumbu khatulistiwa ini. Demikianlah pada suatu masa yang mendekati abad baru, pemerintah kala itu menggagas kebijakan kontroversial yang dikenal dengan nama Gerakan Cendekia Nusantara atau GCN.

Kebijakan ini mendatangkan guru-guru berkompeten dan berkualitas dari luar negeri. Tujuannya bukan menggantikan tendik atau calon tendik lokal tapi “melengkapi” kekurangan. Dibentuklah sebuah dewan pelaksana dari beberapa institusi perguruan tinggi dan organisasi pendidikan dengan tujuan untuk memilih calon guru asing yang terbaik dari yang terbaik.

Dibekali dengan ekspektasi realita kondisi lapangan, para calon guru asing yang terpilih disebar ke seluruh penjuru Indonesia. Mereka diberi insentif finansial yang luar biasa dengan jumlah kompensasi yang dapat membuat bahkan karyawan perusahaan Big Tech dari Amerika dahulu kala menjadi iri. Tidak hanya itu, mereka juga diberi pelatihan bahasa Indonesia yang intensif dan berkepanjangan bagi yang tidak mampu berbahasa Indonesia sama sekali.

“Massa tidak dapat diciptakan, maupun dihancurkan”

Dalam fisika, hukum kekekalan massa menyatakan bahwa kita tidak bisa mengadakan sesuatu dari ketiadaan, melainkan mengubah. Mungkin inilah yang menjadi dasar filosofis para pembuat kebijakan GCN itu. Bahwa cahaya ilmu dan ketajaman nurani pun serupa: ia tidak lahir begitu saja dari ruang kosong dan stagnan, melainkan selalu diturunkan, dipindahkan, dan diwariskan dari satu insan kepada insan lainnya, dari manapun asalnya.

Dalam suatu pidatonya yang kini terpatri dalam monumen digital, Presiden ke-18 kala itu pernah mengatakan: “…Indonesia kan kaya, kenapa tidak? Sisihkan aja beberapa ratusan triliun selama 5 atau 10 tahun. Bahkan kalau berkenan, mobilisasikan instrumen negara seperti DANARA untuk modalnya”.

Tidak hanya omongan belaka, rupanya tindakannya benar-benar nyata dan amanah.

Untuk mendukung guru-guru asing tersebut, pemerintah berinvestasi secara masif terhadap infrastruktur pendidikan di seluruh kabupaten/kota. Sehingga seorang Budi berusia 10 tahun di Pulau Miangas dapat dididik oleh Pak guru dan Bu guru James, Kwame, Ahmed hingga Min-seo mengenai filsafat dunia.

James dari Inggris mengajarkan logika Aristotelian, Kwame dari Ghana memperkenalkan filsafat Ubuntu, Ahmed dari Mesir membawa kisah para ilmuwan Islam abad pertengahan, sementara Min-seo dari Korea melatih disiplin belajar modern. Budi, yang tadinya hanya mengenal laut, kini pikirannya seluas samudra.

Indonesia benar-benar mengglobal hingga ke akar-akarnya.

Memang dibutuhkan waktu berwindu-windu untuk membuahkan hasil. Dibutuhkan tekad yang kuat dan political will absolut dari pemerintah dan rakyat. Namun yang terjadi setelahnya adalah transformasi fundamental pada pendidikan tanah air, bahkan membawa transformasi kultural yang signifikan. Angka melek huruf meningkat menjadi sekitar 99%, dan skor PISA Indonesia menembus 20 besar dunia. Dan yang paling penting, bahwa warisan GCN membawa zeitgeist baru dalam kesadaran sosial rakyat Nusantara.

Sebagian besar orang kala itu setuju bahwa transformasi tersebut berdampak baik, meskipun ada beberapa yang mengkritik keras. Pada akhirnya, tiada yang tahu pasti apakah ini jalan yang memang benar untuk ditempuh.

Mereka hanya memegang harapan, bahwa suatu saat pada waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan YME. Tanah Air ini tidak lagi sekadar menadah cahaya, tetapi juga menyalakannya bagi dunia.

Dan sejarawan memberi julukan untuk periode panjang bangsa ini “Era Kebangkitan”, sebagaimana dulunya ada Era Reformasi, Reformasi 2.0, lalu 3.0 hingga 4.0.

Tamat.

Tertanda,
seorang pembelajar sejarah
13 Juli 2845 Masehi.


Ilustrasi suasana kelas


- Ditulis oleh Ahmad Ghalib Athariq. Disunting dengan ChatGPT.